Wednesday 25 May 2011

Midnight Sun Bagian 11


Interogasi
CNN mengulas berita itu duluan. Aku bersyukur muncul sebelum aku berangkat sekolah. Aku tidak sabar ingin mendengar cara manusia mengulas kejadiannya, dan seberapa menarik perhatian. Untung hari ini ada berita yang lebih besar. Ada gempa bumi di Amerika Selatan dan penculikan tokoh politik di Timur Tengah. Jadi berita itu cuma diulas beberapa detik, dengan satu foto yang tidak jelas.

“Alonzo Calderas Wallace, tersangka pembunuh dan pemerkosa kambuhan, yang jadi buron di negara bagian Texas dan Oklahoma, telah berhasil ditangkap di Portland, Oregon. Wallace berhasil ditangkap berkat adanya informasi dari orang yang tak dikenal. Dia ditemukan tidak sadarkan diri di sebuah gang dini hari tadi, hanya beberapa meter dari kantor polisi. Saat ini pihak berwenang belum bisa menentukan apakah dia akan disidangkan di Texas atau di Oklahoma.”

Fotonya agak buram, foto buron. Dia masih berjanggut lebat waktu foto itu diambil. Bahkan jika Bella menonton dia tidak akan mengenalinya. Kuharap dia tidak menonton; itu bisa membuatnya ketakutan.

“Beritanya tidak akan sampai ke Forks. Kejadiannya terlalu jauh untuk jadi berita lokal,” beritahu Alice padaku. “Beruntung ada Carlisle yang bisa membawanya keluar dari negara bagian ini.”

Aku mengangguk. Bella sendiri tidak terlalu sering nonton TV. Aku juga jarang melihat ayahnya menonton acara selain olahraga. Aku telah melakukan yang kubisa. Monster itu tidak lagi berkeliaran, dan aku tidak jadi pembunuh. Paling tidak, bukan belakangan ini. Pilihanku tepat dengan mempercayakannya pada Carlisle, walaupun aku tidak sepenuhnya puas penjahat itu bisa lolos semudah itu. Kuharap dia akan diadili di Texas, dimana hukuman mati masih sering diberikan...

Tidak. Itu tidak penting lagi. Aku akan melupakan hal itu, dan fokus pada apa yang paling penting. Aku baru meninggalkan kamar Bella tidak sampai satu jam yang lalu, tapi aku sudah tidak sabar ingin menemuinya lagi.

“Alice, maukah kau—”

Dia langsung memotongku, “Rosalie yang akan mengemudi. Dia akan berlagak marah, tapi tahu sendiri, dia akan senang punya alasan untuk memamerkan mobilnya.” Alice tertawa riang.

Aku tersenyum padanya. “Sampai ketemu di sekolah.”

Alice menghela napas, dan senyumku berubah jadi seringai.

Aku tahu, aku tahu, batinnya. Belum saatnya. Aku Akan menunggu sampai kau siap buat Bella mengenalku. Kau mestinya tahu, ini bukan karena aku egois. Bella juga akan menyukaiku.

Aku tidak menanggapi, dan buru-buru keluar. Itu cara pandang yang berbeda untuk melihat situasi ini. Maukah Bella mengenal Alice? Maukah dia punya sahabat seorang vampir?

Kalau dari sudut pandang Bella...mungkin ide itu tidak terlalu mengganggu. Aku mengeluh sendiri. Apa yang Bella mau dan apa yang terbaik bagi Bella adalah dua hal yang bertentangan. Aku mulai gelisah ketika parkir di depan rumah Bella. Pepatah manusia mengatakan, banyak hal kelihatan berbeda di pagi hari—hal itu berubah karena kau tidur. Apakah aku juga akan kelihatan berbeda di mata Bella, di bawah langit mendung dan berkabut pada pagi hari ini? Mungkinkah kebenaran itu akhirnya meresap ketika dia tidur? Mungkinkah akhirnya dia takut?

Sepertinya tadi malam mimpinya indah. Ketika menggumamkan namaku berulang-ulang, dia tersenyum. Lebih dari sekali dia memohon agar aku tetap tinggal. Apa itu tidak akan ada artinya hari ini?

Aku menunggu dengan cemas, mendengarkan suara-suara yang ditimbulkannya di dalam rumah—langkahnya yang setengah berlari di tangga, sobekan kertas timah, benturan botol-botol saat dia menutup lemari es. Sepertinya dia sedang terburu-buru. Tidak sabar ingin cepat-cepat ke sekolah? Bayangan itu membuatku tersenyum, penuh harapan lagi.

Aku melihat ke jam. Sepertinya—jika menghitung-hitung kecepatan maksimal truknya—dia hampir terlambat. Bella menghambur keluar rumah. Tasnya disampirkan di pundak. Rambut ikalnya agak berantakan. Sweter hijau yang dia pakai tidak cukup tebal untuk melindungi tubuhnya dari dinginnya kabut. Sweeter panjang itu ukurannya kebesaran sehingga menyamarkan bentuk tubuh Bella yang gemulai, mengubah lekuk-lekuknya yang menawan jadi tidak berbentuk. Namun aku
sama menyukainya seperti jika dia memakai blus biru muda tadi malam...warna biru mengalir bagai air di permukaan tubuhnya, kainnya membalut kulitnya begitu rupa hingga terlihat sangat menarik, potongannya cukup pendek untuk menunjukkan tulang selangkanya yang mempesona, yang melengkung indah dari bawah leher...

Kurasa lebih baik aku menjauhkan bayangan itu. Jadi aku bersyukur dengan sweter
yang dia pakai. Aku tidak boleh membuat kesalahan. Dan merupakan kesalahan besar jika aku sampai terhanyut pada hasrat aneh yang mulai terbebas dalam diriku, hasrat terhadap bibirnya...kulitnya...tubuhnya.... Hasrat yang selama seratus tahun terkurung rapat. Tapi aku tidak boleh membayangkan itu. Aku tidak boleh membayangkan menyentuhnya, karena itu mustahil. Aku akan meremukkan dia.

Setelah membanting pintu Bella langsung lari hingga hampir saja tidak menyadari mobilku. Kemudian dia berhenti mendadak. Tubuhnya membeku. Tasnya merosot ke tangan, dan matanya membelalak saat melihat mobilku.

Aku keluar, tanpa repot-repot mengekang kecepatan kilatku, dan membukakan pintu mobil untuk dia. Aku tidak mau mengelabuinya lagi—paling tidak saat kami berdua, aku akan menjadi diriku sendiri.

Dia menatapku, terkejut saat aku muncul begitu saja. Kemudian kekagetan di matanya berubah jadi sesuatu yang lain, dan aku tidak perlu lagi takut perasaannya berubah. Hangat, kagum, terpesona, semua jadi satu pada mata coklatnya yang mencair.

“Kau mau berangkat bersamaku hari ini?” tanyaku padanya. Tidak seperti waktu makan malam kemarin, aku memberinya pilihan. Mulai sekarang, semua harus sesuai kemauannya.

“Ya, terima kasih,” gumamnya sambil masuk kedalam mobilku tanpa ragu-ragu.

Apa aku akan berhenti keheranan, bahwa akulah orang yang dijawab ya olehnya? Sepertinya aku akan terus heran. Aku langsung melesat mengitari mobil, tidak sabar ingin berada di sampingnya. Dia tidak terlihat kaget dengan kemunculanku yang tiba-tiba.

Kebahagiaan yang kurasakan ketika dia duduk disampingku seperti ini, tidak ada bandingannya. Walau aku sangat menikmati kedekatan keluargaku, juga dengan berbagai kemewahan yang kupunya, aku belum pernah merasa sebahagia ini. Bahkan walau tahu kalau ini salah, bahwa ini tidak akan berakhir dengan baik, tetap saja tidak bisa menghapus senyumku. Jaketku kusampirkan di sandaran kursinya. Kulihat dia memandanginya.

“Aku membawakan jaket untukmu.” Itu alasan yang kupakai untuk datang tanpa diundang. Pagi ini dingin. Dia tidak punya jaket. Tentunya ini bentuk sikap ksatria yang bisa diterima. “Aku tak ingin kau sakit atau apa.”

“Aku tak selemah itu, kau tahu,” sanggahnya sambil menatap dadaku dan bukannya
wajahku, seakan dia ragu-ragu untuk menatap mataku. Tapi jaketku dipakai juga tanpa harus kupaksa.

“Benarkah?” gumamku sendiri.

Dia terlihat menerawang ke luar saat kami mulai jalan. Aku hanya tahan berdiam diri selama beberapa detik. Aku harus tahu apa yang dia pikirkan pagi ini. Ada banyak hal yang berubah diantara kami sejak matahari terbit.

“Apa tidak ada rentetan pertanyaan hari ini?” tanyaku sesantai mungkin.

Dia tersenyum, terlihat lega aku mengungkitnya. “Apakah pertanyaan-pertanyaanku mengganggumu?”

“Tidak seperti reaksimu,” jawabku jujur sambil tersenyum untuk membalas senyumnya.

Ujung bibirnya mengerut turun. “Apakah reaksiku buruk?”

“Tidak, itu masalahnya. Kau menerimanya dengan tenang sekali—tidak wajar.” Tidak ada satu jeritanpun. Bagaimana itu mungkin? “Itu memuatku bertanya-tanya, apa yang sebenarnya kau pikirkan.”

Tentu saja, apapun yang dia perbuat atau tidak perbuat, membuatku bertanya-tanya.
“Aku selalu mengatakan apa yang sebenarnya kupikirkan.”

“Kau mengeditnya.”

Dia menggigit bibirnya lagi, kelihatannya tidak sadar—reflek ketika sedang tegang.

“Tidak terlalu banyak.”

Hanya dengan mendengar kata-kata itu sudah membuat penasaranku memuncak. Apa yang dengan sengaja ia tutupi dariku?

“Cukup untuk memuatku gila,” sergahku.

Dia ragu sejenak, lalu berbisik, “Kau tidak ingin mendengarnya.”

Aku harus berpikir sebentar, mengulang kembali seluruh pembicaraan tadi malam, kata perkata, mencari hubungannya. Mungkin aku mesti lebih berkonsentrasi lagi karena aku tidak bisa membayangkan ada sesuatu yang tidak ingin kudengar dari dia. Tapi kemudian—karena nada bicaranya sama dengan tadi malam; ada kepedihan yang tiba-tiba muncul—aku ingat.

Secara spesifik aku sempat meminta dia untuk tidak mengucapkan pikirannya; Jangan pernah katakan itu. Aku hampir menggeram ketika itu, dan membuatnya menangis...

Apa itu yang ia sembunyikan? Kedalaman perasaannya padaku? Bahwa sosokku sebagai monster tidak penting buatnya, dan bahwa sudah terlambat untuk berubah pikiran? Aku tidak bisa berkata apa-apa. Kebahagiaan dan penderitaan ini terlalu kuat untuk diungkapkan lewat kata-kata. Benturan keduanya terlalu liar untuk dijelaskan. Keadaan hening, hanya ada suara dari detak jantungnya yang teratur.

“Di mana keluargamu yang lain?” tanyanya tiba-tiba.

Aku mengambil napas panjang—merasakan aroma pekatnya yang membakar untuk
pertama kalinya pagi ini; aku mulai terbiasa, aku menyadari dengan puas—dan memaksa diriku serileks mungkin.

“Mereka naik mobil Rosalie.” Kebetulan ada tempat kosong di samping mobil yang ia
tanyakan, dan aku parkir disitu. Kuseembunyikan senyumku saat matanya membelalak.

“Kelewat mencolok, kan?”

“Mmm, wow. Kalau Rosalie punya itu, kenapa dia pergi bersamamu? “

Rosalie pasti akan menikmati reaksi Bella...jika dia mau bersikap obyektif tentang Bella, yang mana kuragukan.

“Seperti kataku, kelewat mencolok. Kami berusaha membaur.”

“Kalian tidak berhasil.” Dan dia tertawa riang.

Keriangan suara tawanya menghangatkan jantungku.

“Jadi kenapa Rosalie mengemudi sendiri kalau itu kelewat menarik perhatian?” tanyanya heran.

“Tidakkah kau tahu? Aku melanggar semua aturan sekarang.”

Jawabanku pasti tidak terlalu menakuktkan—jadi tentu saja, Bella tersenyum mendengarnya. Dia tidak menunggu untuk dibukakan pintu, sama seperti tadi malam. Sekarang aku harus menjaga sikapku—jadi aku tidak bisa melesat untuk menahannya—tapi untuk selanjutnya dia harus mulai membiasakan diri untuk diperlakukan dengan sopan. Dan harus secepatnya.

Aku berjalan di sampingnya sedekat yang aku berani sambil mengamati kalau-kalau dia merasa risih. Dua kali tangannya sedikit terjuntai ke arahku, namun ditarik lagi. Kelihatannya seperti ingin menyentuhku... Napasku memburu.

“Kenapa kalian mempunyai mobil-mobil seperti itu? Kalau kalian memang menginginkan privasi?” tanyanya sambil jalan.

“Memanjakan diri. Kami semua suka ngebut.”

“Sudah kuduga,” gumamnya masam.

Dia tidak mendongak untuk melihat seringai jailku.

Ya ampun! Aku tidak percaya ini! Bagaimana cara Bella melakukannya? Aku tidak mengerti! Kenapa?

Suara batin Jessica menyela pikiranku. Dia sedang menunggu Bella, berlindung dari
guyuran hujan di bawah atap kafetaria. Jaket Bella di tangannya. Matanya membelalak tidak percaya.

Kemudian Bella melihat juga. Rona merah muda muncul di pipinya ketika dia menangkap reaksi Jessica. Pikiran Jessica terbaca dengan jelas di wajahnya.

“Hei Jessica. Terima kasih sudah ingat membawanya,” sapa Bella. Dia mengambil jaketnya dan Jessica memberikan masih sambil melongo.

Aku harus sopan pada teman Bella, entah dia itu teman yang baik atau bukan.

“Selamat, pagi Jessica.”

Waahhh...

Mata Jessica makin membelalak. Ini aneh...dan jujur saja, sedikit memalukan...menyadari bagaimana berada di dekat Bella telah melunakkan diriku. Sepertinya tidak ada lagi orang yang takut. Jika Emmet sampai tahu, dia pasti akan menertawaiku habis-habisan.

“Err...hai,” gumam Jessica tidak jelas. Kemudian matanya memelototi Bella. “Kalau begitu sampai ketemu di kelas Trigono.”

Kau harus menceritakan semuanya. Tidak boleh tidak. Setiap detailnya. Aku harus
mendapatkan detailnya! Si Edward CULLEN!! Dunia tidak adil!
Bibir Bella cemberut. “Yeah, sampai ketemu nanti.”

Benak Jessica makin berkeliaran saat berjalan menuju kelas. Sesekali dia menoleh ke belakang.

Cerita lengkapnya. Aku tidak mau terima jika kurang dari itu. Apa mereka memang sudah berencana untuk bertemu tadi malam? Apa mereka sudah berkencan? Sudah berapa lama? Tega-teganya Bella merahasiakan hal ini? Kenapa juga dia mau merahasiakannya? Ini tidak mungkin cuma iseng—Bella pasti serius. Apa ada kemungkinan yang lain? Aku akan mencari tahu. Kira-kira, apa dia sudah menciumnya? Ya ampun...

Benak Jessica tiba-tiba terputus, dia ganti membayangkan adegan itu. Aku langsung berusaha mengusirnya. Itu tidak akan mungkin terjadi. Namun tetap saja aku... Tidak, aku menolak untuk membenarkan tindakan yang seperti itu, bahkan tidak ke diriku sendiri. Aku menginginkan dia dengan cara salah seperti apa lagi? Dan cara mana yang akhirnya akan berujung pada kematiannya? Aku menggeleng, berusaha ceria lagi.

“Apa yang akan kau katakan padanya?” .

“Hei!” desisnya tajam. “Kupikir kau tak bisa membaca pikiranku!”

“Aku tak bisa.” Aku menatap kaget, berusaha mengolah ucapanya. Ah—kami pasti
memikirkan hal yang sama. Hmm...aku cukup suka itu. “Bagaimanapun, aku bisa membaca pikirannya—dia tak sabar ingin menginterogasimu di kelas.”

Bella mengerang. Kemudian dengan begitu saja dia melepas jaketku. Awalnya aku
tidak sadar—aku sama sekali tidak meminta jaketku; aku lebih memilih dia pakai terus...sebagai kenang-kenangan—jadi aku terlambat membantu melepaskannya. Dia mengembalikan jaketku, dan memakai jaketnya sendiri tanpa melihat kalau tanganku sudah siap membantu. Aku merengut karenanya, namun cepat mengontrol ekspresiku agar tidak dilihat dia.

“Jadi, kau akan bilang apa padanya?” desakku.

“Tolong bantu aku sedikit. Apa yang ingin diketahuinya?”

Aku tersenyum, dan menggeleng. Aku ingin mendengar apa yang dia pikirkan saat itu juga, tanpa persiapan. “Itu tidak adil.”

Matanya menyipit. “Tidak, kau tidak akan memberitahu apa yang kau ketahui—itu baru tidak adil.”

Betul—dia tidak suka standar ganda.

Kami sampai di depan kelasnya—dimana aku harus meninggalkan dia; aku bertanyatanya apa Ms. Cope mau membantu menukar jadwal pelajaran bahasa Inggrisku... Sebaiknya jangan, aku harus berlaku adil.

“Dia ingin tahu apakah kita diam-diam berkencan,” kataku lambat-lambat. “Dan dia
ingin tahu bagaimana perasaanmu terhadapku.”

Matanya melebar—bukannya kaget, tapi dibuat-buat. Dia sok polos.

“Iihh,” gumamnya. “Apa yang harus kukatakan?”

“Hmm.” Dia selalu saja mencoba mengorekku ketimbang membuka pikirannya sendiri. Aku menimbang-nimbang bagaimana menjawabnya.

Sejumput rambutnya yang agak basah karena kabut, terlepas dari belakang telinga, dan terjuntai di sekitar tulang selangkanya yang sekarang tersembunyi dibalik sweter. Itu menarik perhatian mataku...pada lekuk tulangnya yang masih agak kelihatan... Kuraih rambut itu hati-hati agar jangan sampai menyentuh kulitnya—pagi ini sudah cukup dingin tanpa ketambahan sentuhanku—dan mengembalikannya ke balik telinga agar tidak menarik perhatianku lagi. Aku ingat saat Mike Newton menyentuh rambutnya, ketika itu Bella langsung menjauh. Kali ini reaksinya sama sekali berbeda; pupil matanya melebar, aliran darah di balik kulitnya menderas, dan detak jantungnya mendadak tidak beraturan.

Aku berusaha menyembunyikan senyumku saat menjawab pertanyaannya. “Kurasa kau bisa mengatakan ya untuk petanyaan pertama... kalau kau tidak keberatan—,” biarkan dia yang memilih, harus selalu begitu, “—itu lebih mudah daripada penjelasan lainnya.”

“Aku tak keberatan,” bisiknya. Detak jantungnya masih belum teratur.

“Dan untuk pertanyaan yang satu lagi...” kini aku tidak bisa menyembunyikan senyumku. “Well, aku akan mendengar jawabannya langsung darimu.”

Biarkan Bella mempertimbangkan hal itu. Aku menahan tawaku saat syok terlihat di
wajahnya. Aku cepat-cepat berbalik, sebelum dia sempat menuntut jawaban lagi. Aku menemui kesulitan untuk tidak menjawab apapun yang ia tanya. Dan aku ingin mendengar pikirannya, bukan pikiranku sendiri.

“Sampai ketemu saat makan siang,” kataku sambil menoleh melihatnya, sekedar alasan untuk mengecek apa dia masih memandangiku dengan terlongo. Dan, dia masih begitu, dengan mulut terbuka. Aku berbalik lagi dan tertawa.

Samar-samar aku menyadari pikiran syok orang-orang disekitarku—tatapan mereka
bergantian ke aku dan Bella. Namun aku tidak terlalu memperhatikan mereka. Aku tidak bisa berkonsentrasi. Untuk melangkah dengan tenang saja sudah susah. Aku ingin lari—benarbenar lari, secepat kilat hingga menghilang, seperti terbang. Sebagian dariku sekarang sudah terbang.

Sesampainya di kelas jaketku kupakai. Keharuman pekat Bella yang tertinggal pun bergelung disekelilingku. Kubiarkan tenggorokanku terbakar supaya nanti saat bertemu lagi lebih mudah mengatasinya.

Ada untungnya juga para guru sudah tidak pernah menanyaiku lagi. Hari ini mungkin mereka bisa memergokiku tanpa jawaban. Pikiranku sedang berkeliaran ke tempat lain; hanya badanku yang di kelas. Tentu saja aku sedang memandangi Bella. Itu jadi alamiah—sealami seperti bernapas. Dia sedang bercakap-cakap dengan Mike Newton, dan sebisa mungkin berusaha mengalihkan pembicaraan ke Jessica. Aku menyeringai begitu lebar hingga Rob Sawyer, yang duduk di meja sebelahku, berjengit di kursinya dan bergeser menjauh.

Ugh. Menyeramkan.

Well, aku tidak sepenuhnya kehilangan tajiku. Kadang-kadang aku juga mengawasi Jessica. Dia tidak sabar menunggu jam ke empat, dan sedang memikirkan daftar pertanyaan untuk Bella. Aku sendiri sepuluh kali lebih tidak sabar ketimbang Jessica. Dan aku juga mendengarkan Angela Weber.

Aku tidak lupa dengan hutang budiku padanya—karena telah memikirkan yang baik-baik saja tentang Bella dan pertolongannya tadi malam. Jadi sepanjang pelajaran aku mencari-cari sesuatu yang ia inginkan. Kusangka itu akan mudah; seperti kebanyakan orang, pasti ada barang-barang mewah atau benda tertentu yang dia idam-idamkan. Beberapa, mungkin. Aku akan mengirimkannya tanpa nama, dan menganggap impas.

Tapi ternyata Angela sama polosnya dengan Bella. Pikirannya sangat aneh untuk ukuran remaja. Bahagia. Barangkali ini alasan dari kebaikan hatinya yang tidak lazim—dia satu dari beberapa orang yang telah memiliki yang dia inginkan, dan menginginkan yang telah ia miliki. Jika tidak sedang memperhatikan pelajaran, dia memikirkan adik kembarnya, yang akan ia ajak ke pantai akhir pekan nanti—terhibur oleh semangat mereka dengan sikap hampir keibuan. Dia sering diminta menjaga mereka, tapi itu tidak membuatnya kesal... Itu sangat murah hati. Tapi tidak terlalu menolong buatku. Pasti ada sesuatu yang dia mau. Aku cuma perlu terus mencari. Tapi nanti lagi. Ini saatnya kelas Trigono Bella bersama Jessica.

Aku tidak memperhatikan jalanku saat menuju kelas bahasa Inggris. Jessica sudah duduk di kursinya. Kedua kakinya mengetuk-ngetuk lantai tidak sabaran menunggu Bella datang.

Sebaliknya, ketika sampai di kursiku, aku langsung sepenuhnya diam. Aku sampai harus mengingatkan diriku untuk sesekali membuat gerakan, untuk memainkan sandiwaraku sebagai manusia. Itu sangat sulit, pikiranku terlalu fokus ke Jessica. Kuharap dia benar-benar memperhatikan, benar-benar membaca wajah Bella untukku. Ketukan Jessica makin cepat ketika Bella memasuki kelas.

Dia kelihatan...murung. Kenapa? Mungkin tidak terjadi apa-apa antara dia dengan Edward Cullen. Itu pasti mengecewakan. Kecuali...dengan begitu Edward berarti masih sendirian...jika tiba-tiba Edward tertarik untuk kencan, aku tidak kebaratan membantunya...

Wajah Bella tidak kelihatan murung, melainkan malas. Dia gelisah—dia tahu aku akan mendengar semuanya. Aku tersenyum sendiri.

“Ceritakan semuanya!” desak Jess, sementara Bella masih melepas jaketnya untuk disampirkan di kursi. Dia bergerak dengan enngan.

Ugh, di lamban sekali. Ayo cepat ceritakan!

“Apa yang ingin kau ketahui?” tanya Bella setengah hati setelah dia duduk.

“Apa yang terjadi semalam?”

“Dia mengajakku makan malam, lalu mengantarku pulang.”

Lalu? Ayolah, pasti lebih dari itu! Paling-paling dia bohong, aku tahu itu. Aku akan
cari tahu yang sebenarnya.

“Bagaimana kau bisa pulang secepat itu?”

Kulihat Bella memutar bola matanya dari pandangan curiga Jessica.

“Dia ngebut seperti orang sinting. Mengerikan.”

Dia tersenyum, senyuman kecil. Dan aku tergelak, memotong pembicaraan Mr. Mason. Tawaku berusaha kuubah jadi batuk, tapi tidak ada yang tertipu. Mr. Mason memelototiku, tapi aku bahkan tidak mau repot-repot mendengarkan pikirannya. Aku masih sibuk dengan Jessica.

Huh. Sepertinya dia menceritakan yang sebenarnya. Kenapa dia mesti membuatku
menanyakannya kata per kata? Kalau itu aku, pasti sudah tidak sabar untuk
menceritakannya.

“Apakah itu semacam kencan—apakah kau memberitahunya untuk menemuimu
disana?”

Jessica mengamati baik-baik ekspresi Bella, dan kecewa karena kelihatannya datar-datar saja.

“Tidak—aku sangat terkejut melihatnya di sana,” beritahu Bella.

Apa yang terjadi?? “Tapi hari ini dia menjemputmu ke sekolah?” Pasti ada cerita lainnya.

“Ya—itu juga kejutan. Dia memerhatikan aku tidak membawa jaket semalam.”

Itu tidak terlalu menarik, batin Jessica, lagi-lagi kecewa.

Aku capek mendengar rentetan pertanyaannya—aku mau mendengar sesuatu yang
belum kuketahui. Kuharap Jessica tidak terlalu kecewa hingga melewatkan pertanyaan yang kutunggu-tunggu.

“Jadi, kalian akan berkencan lagi?” desak Jessica.

“Dia menawarkan mengantarku ke Seattle sabtu nanti, karena menurut dia, trukku tidak bakal sanggup—apakah itu masuk hitungan?”

Hmm. Sepertinya Edward juga cukup serius...well, jaga Bella baik-baik. Pasti ada
yang aneh dengan si Edward, jika bukan Bella-nya yang aneh. Bagaimana INI bisa terjadi?

“Ya.” Jessica menjawab pertanyaan Bella.

“Well, kalau begitu, ya,” tegas Bella.

“W-o-w. Edward Cullen.” Entah Bella menyukai Edward atau tidak, ini berita besar.

“Aku tahu,” desah Bella.

Nada suara Bella menyemangati Jessica. Akhirnya—dia menyadari juga situasinya. Dia juga pasti tahu...

“Tunggu!” Tiba-tiba dia ingat pertanyaan yang paling penting. “Apakah dia sudah menciummu?” Please bilang ya. Lalu ceritakan setiap detailnya!

“Belum,” gumam Bella pelan, lalu dia menunduk, memandangi tangannya. “Bukan begitu.”

Sial. Kuharap... Ha. Sepertinya Bella juga mengharapkannya.

Aku mengerutkan dahi. Bella memang terlihat kecewa akan sesuatu, tapi tidak mungkin itu alasannya. Dia tidak mungkin menginginkan hal itu. Dia tidak mungkin mau sedekat itu dengan gigiku. Seperti yang dia ketahui, aku punya taring. Aku menggigil.

“Menurutmu hari sabtu...?” desak Jessica lagi.

Bella bahkan terlihat lebih kecewa ketika berkata, “Aku sangat meragukannya.”

Yah, dia memang menginginkannya. Itu pasti menyebalkan buat dia.

Apakah karena melihatnya lewat persepsi Jessica maka sepertinya asumsi Jessica betul? Selama setengah detik pikiranku disela oleh bayangan—yang mustahil—tentang bagaimana rasanya jika mencium Bella. Bibirku pada bibirnya, batu-dingin pada kehangatan, merasakan kelembutannya yang seperti sutra... Kemudian dia mati. Aku menggeleng-geleng sambil meringis, lalu memperhatikan lagi.

“Apa yang kalian obrolkan?” Apa kau bicara dengannya, atau kau justru membuatnya harus bertanya satu persatu seperti ini?

Aku tersenyum kecut. Tebakan Jessica tidak terlalu melenceng.

“Entahlah, Jess, banyak. Kami membicarakan tentang tugas esai bahasa Inggris, sedikit.”
Sangat, sangat sedikit. Aku tersenyum lebar.

Oh, AYOLAH. “Ayolah, Bella! Ceritakan detailnya.”

Bella ragu sejenak.

“Well, baiklah... akan kuceritakan satu. Mestinya kau lihat pelayan restoran merayunya—terang-terangan sekali. Tapi dia tidak memerhatikan pelayan itu sama sekali.”

Detail yang aneh untuk diceritakan. Aku bahkan tidak menyangka Bella menyadari hal itu. Sepertinya itu tidak terlalu relevan.

Menarik... “Itu pertanda baik. Apakah pelayan itu cantik?”

Hmm. Jessica menanggapinya dengan lebih serius ketimbang aku. Pasti urusan perempuan.

“Sangat,” ujar Bella. “Dan barangkali umurnya 19 atau 20.”

Sesaat Jessica ingat ketika ia dan Mike kencan senin kemarin—Mike bersikap terlalu sopan dengan si pelayan, yang menurut Jessica sama sekali tidak cantik. Dia mengusir ingatan itu dan kembali. Dia mengekang kekesalannya agar bisa meneruskan pertanyaannya.

“Lebih baik lagi. dia pasti menyukaimu.”

“Kurasa begitu,” ucap Bella tidak yakin, dan aku hampir saja berdiri. “Tapi sulit mengetahuinya. Sikapnya selalu misterius.”

Aku pasti tidak setransparan dan se-lepas kendali seperti yang kupikir. Namun tetap
saja...dengan pengamatan yang ia punya... Bagaimana mungkin dia tidak menyadari bahwa aku jatuh cinta padanya? Kuulang kembali seluruh pembicaraan kami berdua, dan baru sadar aku memang belum pernah mengucapkan kata-kata itu. Tapi rasanya ungkapan itu sudah terbalut dalam setiap kata yang kuucapkan.

Wow. Bagaimana caranya kau bisa duduk di samping seorang model dan mengobrol dengannya? “Aku tidak mengira kau berani sekali hanya berduaan dengannya.”

Bella terlihat syok. “Kenapa?”

Reaksi yang aneh. Memangnya menurut dia yang kumaksud apa? “Dia begitu...” Apa istilahnya yang tepat? “Mengintimidasi. Aku takkan tahu apa yang harus kukatakan padanya.” Bahkan tadi aku tidak bisa bicara dengan benar, padahal dia cuma mengucapkan selamat pagi. Aku pasti kelihatan seperti orang idiot.

Bella tersenyum. “Tapi aku memang punya beberapa masalah dengan logika ketika
bersamanya.”
Dia pasti sekedar menghibur Jessica. Bella terlihat begitu terkendali ketika bersamaku.

“Oh, well,” desah Jessica. “Dia memang luar biasa tampan.”

Tatapan Bella tiba-tiba jadi dingin. Pancaran matanya mirip seperti ketika sedang
tersinggung. Jessica sendiri tidak menangkap perubahan itu.

“Dia jauh lebih dari pada sekedar sangat tampan,” tukas Bella.

Oooh. Akhirnya muncul juga. “Sungguh? Seperti apa?”

Bella menggigit bibirnya sebelum menjawab. “Aku tak bisa menjelaskannya dengan tepat... tapi dia jauh lebih luar biasa di balik wajahnya.” Dia berpaling dari Jessica, tatapannya berubah tidak fokus seakan sedang memandangi sesuatu yang jauh. Yang kurasakan saat ini mirip dengan yang kurasakan ketika Carlisle atau Esme menyanjungku lebih dari yang sepantasnya. Mirip, tapi lebih dalam, dan lebih melimpah.

Jangan berlagak bodoh—tidak ada yang lebih baik ketimbang wajahnya! Kecuali mungkin badannya. Hhh. “Apakah itu mungkin?” Jessica terkikik.

Bella tidak menoleh. Dia terus memandang ke kejauhan, mengabaikan Jessica.

Orang normal pasti sudah berbunga-bunga. Barangkali jika kutanyakan dengan bahasa yang lebih sederhana. Ha ha. Aku seperti bicara dengan anak TK. “Jadi, kau menyukainya?”

Badanku membeku.

Bella tidak melihat ke Jessica. “Ya.”

“Maksudku, kau benar-benar menyukainya?”

“Ya.”

Lihat, dia tersipu-sipu!

Ya, aku sedang melihatnya.

“Seberapa suka?” desak Jessica.

Ruang kelasku mungkin saja diguncang gempa dan aku tidak menyadarinya. Wajah Bella bersemu merah—aku hampir bisa merasakan hangatnya.

“Terlalu suka,” bisiknya. “Lebih dari dia menyukaiku. Tapi aku tidak tahu bagaimana mengatasinya.”

Sial! Apa tadi yang Mr. Varner tanyakan? “Mmm. Nomer berapa Mr. Varner?”

Untung Jessica tidak bisa menanyai Bella lagi. Aku butuh waktu sebentar. Apa coba yang dipikirkan gadis itu? Lebih dari dia menyukaiku? Darimana dia dapat ide itu? Tapi aku tidak tahu bagaimana mengatasinya? Apa coba itu artinya? Aku tidak bisa menemukan penjelasan yang rasional dari perkataanya. Ucapannya tak beralasan. Rasanya aku seperti tidak dihargai. Sesuatu yang sudah sangat-sangat jelas, entah
bagaimana jadi terpelintir di dalam otaknya yang ganjil. Lebih dari dia menyukaiku?
Barangkali dia memang masih perlu dibawa ke psikiater.

Aku melihat ke jam, dan menggertakan gigi. Kenapa satu menit jadi terasa seabad untuk mahluk abadi sepertiku? Kemana larinya akal sehatku? Rahangku terkatup rapat selama jam pelajaran Mr. Varner. Aku lebih banyak mendengar pelajaran di kelas Bella ketimbang di kelasku sendiri. Bella dan Jessica tidak bicara lagi, tapi sesekali Jessica melirik ke Bella. Satu kali, wajahnya sempat bersemu merah tanpa alasan yang jelas.

Jam makan siang tidak datang-datang juga. Kuharap Jessica bisa mendapatkan semua jawaban yang kutunggu saat jam pelajaran selesai. Tapi Bella lebih cepat dari dia. Sesaat setelah bel bunyi, Bella menoleh ke Jessica.

“Di kelas Inggris, Mike bertanya apakah kau mengatakan sesuatu tentang Senin Malam,” kata Bella sambil tersenyum. Aku mengerti apa yang dia lakukan—menyerang adalah pertahanan yang terbaik.

Mike bertanya tentang aku? Perasaan senang membuat pikiran Jessica jadi melunak, tanpa sindiran seperti biasanya. “Kau bercanda! Apa katamu?”

“Kubilang kau sangat menikmatinya—dia kelihatan senang.”

“Katakan apa persisnya yang dikatakannya, juga jawabanmu!” Jelas, cuma itu yang bisa kudapat dari Jessica hari ini. Bella tersenyum seakan sedang memikirkan hal yang sama, seakan dia telah memenangkan ronde ini.

Well, pada saat makan siang nanti akan lain ceritanya. Aku harus lebih berhasil ketimbang Jessica. Akan kupastikan itu. Hanya kadang-kadang Aku saja mengecek pikiran Jessica selama jam pelajaran selanjutnya. Aku tidak tahan dengan obsesinya pada Mike Newton. Aku sudah cukup mendengar tentang Mike Newton selama dua minggu ini. Sudah untung dia masih hidup.

Aku berjalan dengan malas ke ruang gimnasium bersama Alice. Kami selalu malas jika menyangkut aktivitas fisik bersama manusia. Ini hari pertama bermain badminton. Alice jadi pasanganku. Aku mendesah bosan, mengayunkan raketku dengan sangat-sangat pelan untuk mengembalikan kok nya ke seberang net. Lauren Mallory jadi lawan kami; dia gagal memukulnya. Alice memutar-mutar raketnya sambil menatap ke langit-langit.

Kami semua membenci pelajaran olahraga, terutama Emmet. Mengalah dalam pertandingan bertentangan dengan filosofi hidupnya. Pelajaran olahraga hari ini lebih parah dari biasanya—aku hampir sekesal Emmet. Sebalum kepalaku meledak, Coach Clapp menyudahi permainan. Dengan geli aku bersyukur dia melewatkan sarapannya—percobaan awal untuk diet—dan rasa lapar yang diakibatkannya membuat dia ingin cepat-cepat mencari makan. Dia berjanji ke dirinya sendiri akan mengulang lagi besok... Ini memberiku cukup waktu untuk ke kelas Bella sebelum dia keluar.

Selamat bersenang-senang, batin Alice saat dia bergegas menemui Jasper. Aku Cuma perlu bersabar beberapa hari lagi. Kurasa kau tidak mau menyampaikan salamku untuk Bella, kan?

Aku menggeleng jengkel. Apa semua paranormal memang sombong?

Sekedar informasi, matahari akan bersinar cerah akhir pekan nanti. Kau mungkin perlu mengatur ulang rencanamu.

Aku menghela napas saat berjalan ke arah yang berlawanan dengan Alice. Sombong, tapi jelas berguna.

Aku bersandar di depan kelas Bella, menunggu. Aku berdiri cukup dekat hingga bisa
mendengar suara Jessica dari balik tembok, sama jelasnya dengan suara pikirannya.

“Hari ini kau tidak akan duduk bersama kami, kan?” dia terlihat...berseri-seri. Berani taruhan, pasti ada banyak yang tidak ia ceritakan.

“Kurasa tidak,” jawab Bella. Anehnya, dengan ragu.

Bukannya tadi aku sudah janji akan makan siang bersamanya? Apa yang dia pikir?
Mereka keluar kelas berdua, sama-sama tercengang ketika melihatku. Tapi aku Cuma bisa mendengar pikiran Jessica.

Baik sekali dia. Wow. Oh, pasti itu, pasti ada lebih banyak lagi yang tidak Bella ceritakan. Barangkali aku akan meneleponnya nanti malam...atau mungkin aku tidak usah menyemangatinya. Huh. Kuharap Edward cepat bosan dengan Bella. Mike sih cukup manis tapi...wow.

“Sampai nanti, Bella.”

Bella menghampiriku, berhenti beberapa langkah dariku, masih belum yakin. Pipinya
merona merah muda. Aku sekarang cukup mengenalnya untuk yakin bahwa bukan takut yang membuatnya ragu. Rupanya ini ada kaitannya dengan jurang perasaan yang dia bayangkan. Lebih dari dia menyukaiku. Sangat absurd!

“Halo,” sapaku dengan suara parau.

Wajahnya makin cerah. “Hai.”

Kelihatannya dia tidak tahu harus berkata apa lagi, jadi kami diam saja selama berjalan ke kafetaria. Jaketku bekerja dengan baik—aromanya jadi tidak setajam biasanya. Ini cuma rasa terbakar yang sudah sering kurasakan. Dengan mudah bisa kuabaikan.

Bella nampak resah ketika berjalan di antrian. Tanpa sadar dia memain-mainkan resleting jaketnya, dan mengganti-ganti tumpuan kakinya dengan gugup. Dia sering melirikku, namun tiap kali bertemu pandang, dia langsung menunduk, seakan malu. Apa ini karena ada begitu banyak orang yang menatap kami? Mungkin dia bisa mendengar bisikan-bisikan mereka—gosip yang terucap tidak beda dengan isi kepala mereka. Atau barangkali dia sadar, dari melihat ekspresiku, bahwa dia dalam kesulitan. Dia tidak bicara apa-apa sampai aku mengambil makanan untuk dia. Aku tidak tahu kesukaannya apa—belum tahu—jadi aku mengambil satu dari tiap makanan yang ada.

“Apa yang kau lakukan?” desisnya pelan. “Kau tidak mengambil itu semua untukku, kan?”

Aku menggeleng, dan membawa nampannya ke kasir. “Tentu saja separuhnya untukku.”

Alisnya terangkat skeptis, tapi tidak berkomentar. Setelah membayar makanannya, aku mengajaknya duduk di tempat kami bicara minggu lalu. Sepertinya itu sudah berlalu lama sekali. Semuanya tampak berbeda sekarang. Dia duduk di sebrangku lagi. Kudorong nampannya ke dia.

“Ambil apa saja yang kau mau.”

Dia mengambil sebuah apel dan memutar-mutarnya di tangan. Sorot matanya menyelidik.

“Aku penasaran.”

Benar-benar kejutan.

“Apa yang kau lakukan bila ada yang menantangmu makan?” Dia mengucapkannya
dengan sangat pelan hingga tidak mungkin ada orang yang bisa mendengar. Telinga
keluargaku lain lagi, jika mereka sedang memperhatikan. Mestinya aku terlebih dulu
mengatakan sesuatu ke mereka...

“Kau selalu saja penasaran,” keluhku. Oh, baiklah. Ini bukannya aku belum pernah
makan sebelumnya. Ini bagian dari bersikap ksatria. Bagian yang tidak menyenangkan. Aku mengambil yang terdekat, dan menatap matanya sembari menggigit apapun ini. Tanpa melihat aku tidak tahu apa yang kumakan. Bentuknya tipis dan padat, sama menjijikannya dengan semua makanan manusia lainnya. Aku mengunyah cepat-cepat dan menelannya, menyembunyikan ekspresi jijik di wajahku. Gumpalan makanan itu bergerak pelan dan tidak nyaman di tenggorokanku. Aku mengeluh saat memikirkan harus memuntahkannya lagi nanti. Menjijikan! Ekspresi Bella syok. Kagum.

“Kalau seseorang menantangmu makan kotoran, kau bisa melakukannya, ya kan?”
Hidungnya mengerut dan ia tersenyum. “Aku pernah melakukannya... ketika ditantang. Tidak terlalu buruk.”

Aku tertawa. “Kurasa aku tidak terkejut.”
Mereka terlihat nyaman, ya kan? Dilihat dari bahasa tubuhnya begitu. Nanti biar kuberitahu ke Bella. Edward mencondongkan tubuhnya ke Bella seperti seharusnya jika dia tertarik pada Bella. Dia terlihat tertarik. Dia terlihat...sempurna. Jessica menghela napas.

Yumy.

Aku bertemu pandang dengan tatapan penasaran Jessica, dan dia langsung berpaling gugup, cekikikan ke teman sebelahnya.

Hmm. Barangkali sebaiknya aku tetap dengan Mike saja. Realita, bukan fantasi...

“Jessica sedang memerhatikan semua tindak-tandukku.” Aku memberitahu Bella.

“Nanti dia akan memaparkannya padamu.”

Kusorongkan sisa makanannya ke Bella—pizza, setelah kulihat—bertanya-tanya bagaimana memulainya. Rasa frustasiku kembali muncul, kata-kata itu terulang kembali di kepalaku: lebih dari dia menyukaiku. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengatasinya.

Dia menggigit sisa pizza tadi. Itu membuatku takjub, melihat begitu percayanya dia padaku. Tentu saja dia tidak tahu aku punya liur berbisa yang beracun—meski tidak akan menular dengan cara seperti itu. Tetap saja, kukira dia akan memperlakukanku dengan cara yang berbeda, seperti sesuatu yang lain. Tapi dia tidak pernah memperlakukanku berbeda— paling tidak, tidak dengan cara yang negatif... Aku mesti memulainya pelan-pelan.

“Jadi pelayannya cantik, ya?”

Dia mengangkat alisnya. “Kau benar-benar tidak memerhatikan?”

Dia pikir ada perempuan lain yang bisa mengalihkan perhatianku darinya. Lagi-lagi
absurd.

“Tidak. Aku memikirkan banyak hal.” Diantaranya perhatianku tertuju pada blus tipis yang membalut tubuhnya... Untungnya sekarang dia memakai sweter jelek ini.

“Perempuan malang,” ujar Bella sambil tersenyum.

Dia senang aku tidak tertarik pada pelayan itu. Cukup bisa dipahami. Sudah berapa kali, coba, aku membayangkan meremukkan Mike Newton sewaktu di kelas Biologi?
Tapi tidak mungkin dia percaya bahwa perasaan manusianya, pengalaman tujuh belas tahunnya yang pendek, bisa lebih kuat dari hasrat abadi yang telah terbangun selama satu abad dalam diriku.

“Sesuatu yang kau katakan pada Jessica...” Aku tidak sanggup membuat suaraku tetap santai. “Well, itu menggangguku.”

Dia langsung mengambil sikap defensif. “Aku tidak terkejut kau mendengar sesuatu yang tidak kau sukai. Kau tahu kan apa kata pepatah tentang tukang nguping.”

Tukang nguping tidak akan pernah mendengar sesuatu yang baik buat diri mereka, begitu pepatahnya.

“Aku sudah mengingatkan bahwa aku akan mendengarkan.”

“Dan aku sudah mengingatkan tidak semua yang kupikirkan baik untuk kau ketahui.”

Ah, yang dia maksud saat aku membuatnya menangis. Penyesalan membuat suaraku makin parau. “Memang. Meski begitu, kau tidak sepenuhnya benar. Aku ingin tahu apa yang kau pikirkan—semuanya. Aku hanya berharap... kau tidak memikirkan beberapa hal.”

Lagi-lagi separuh bohong. Aku tahu, tidak seharusnya aku berharap dia peduli padaku. Tapi toh aku mengharapkannya. Tentu saja aku mengharapkannya.

“Itu sama saja,” gerutunya dengan bersungut-sungut.

“Tapi bukan itu masalahnya sekarang.”

“Lalu apa?”

Dia mencondongkan tubuh ke depan. Tangan kanannya memegangi leher. Dan itu
menarik perhatianku. Pasti kulitnya halus sekali...

Fokus, perintahku pada diriku.

“Apakah kau benar-benar yakin kau lebih peduli padaku daripada aku padamu?” Buatku pertanyaan itu terdengar menggelikan, seakan kata-katanya campur aduk.

Matanya melebar, napasnya terhenti. Kemudian dia berpaling, berkedip cepat. Dia menghela napas pelan.

“Kau melakukannya lagi,” gumamnya.

“Apa?”

“Membuatku terpesona,” akunya, sambil menatap mataku hati-hati.

“Oh.” Hmm. Aku tidak tahu bagaimana cara mengatasi itu. Aku juga tidak yakin aku tidak mau membuatnya begitu. Aku masih tidak percaya bisa melakukannya. Tapi itu tidak akan membantu pembicaraan ini.

“Bukan salahmu.” Dia menghela napas lagi. “Kau tak bisa mencegahnya.”

“Apakah kau akan menjawab pertanyaanku?” desakku.

Dia memandangi meja. “Ya.”
Cuma itu yang dia katakan.

“Ya, kau akan menjawab, atau ya, kau benar-benar berpendapat begitu?” tanyaku tidak sabar.

“Ya, aku benar-benar berpendapat begitu,” jawabnya pelan, masih menghindari tatapanku. Ada nada sendu pada suaranya. Dan dia tersipu lagi. Giginya mulai menggigit bibirnya.

Aku jadi sadar, pasti sangat sulit buat dia untuk mengakui itu, karena dia benar benar mempercayainya. Dan aku tidak jauh beda dengan si pengecut Mike Newton, yang menanyakan perasaan Bella duluan sebelum menyatakan perasaannya. Tidak penting bahwa rasanya aku telah mengungkapkan perasaanku dengan jelas, yang pasti, dia tidak pernah menangkapnya. Jadi tidak ada alasan bagiku untuk mengelak.

“Kau salah.” Aku meyakinkan dia. Pasti dia mendengar kelembutan dalam suaraku.

Bella menatapku. Tatapannya misterius, tidak memberitahu apa-apa. “Kau tak bisa mengetahuinya,” bisiknya pelan.

Menurutnya aku meremehkan perasaannya karena aku tidak bisa mendengar pikirannya. Tapi yang sebenarnya terjadi, dia lah yang meremehkan perasaanku.

“Apa yang membuatmu berpikir begitu?” Aku bertanya-tanya.

Dia menatapku balik, dengan kerut diantara alisnya, dan sambil menggigit bibir. Untuk kesekian kali, dengan sia-sia aku berharap bisa mendengar pikirannya. Aku hampir memohon padanya untuk memberitahu apa yang sedang berkecamuk dalam pikirannya, tapi dia mengangkat jarinya untuk mencegahku bicara.

“Biarkan aku berpikir,” pintanya.

Selama dia cuma mengatur pikiran, aku bisa sabar. Atau, aku bisa pura-pura sabar. Dia mengatupkan tangan, mengait dan menguraikan jemarinya yang mungil. Dia mengamati tangannya seakan itu milik orang lain saat dia mulai bicara.

“Well, terlepas dari kenyataannya,” gumamnya ragu-ragu. “Kadang-kadang... aku tidak yakin—aku tidak tahu caranya membaca pikiran—tapi terkadang rasanya seolah kau berusaha mengucapkan selamat tinggal ketika kau mengatakan sesuatu yang lain.” Dia tidak mendongak. Dia menangkapnya, ya kan? Sadarkah dia bahwa hanya karena diriku lemah dan egois maka aku tetap ada disini? Apa dia memandang remeh perasaanku hanya karena itu?

“Peka,” bisikku, dan menghela napas. Kemudian aku melihat dengan ngeri saat ekspresinya berubah terluka. Aku buru-buru menyangkal asumsinya. “Tapi justru itulah kenapa kau salah.” Aku berhenti sebentar, mengingat-ingat kata pertama dari penjelasannya. Kata itu menggangguku, meski tidak terlalu mengerti maknanya. “Apa maksudmu dengan 'kenyataannya'?”

“Well, lihat aku,” ujarnya.

Aku sedang melihatnya. Yang dari tadi kulakukan adalah melihatnya. Apa maksudnya?

“Aku sangat biasa-biasa saja.” Dia menjelaskan. “Well, kecuali untuk hal-hal buruk seperti pengalaman yang sangat dekat dengan kematian, dan aku begitu canggung sehingga bisa dibilang nyaris tak berdaya. Sedang kan kau?” dia melambaikan tangan ke arahku, seakan sedang menegaskan sesuatu yang sudah sangat jelas.

Dia pikir dia biasa-biasa saja? Dia pikir, entah bagaimana, aku jauh lebih baik dibanding dirinya? Berdasar perkiraan siapa? Orang konyol yang berpikiran picik seperti Jessica atau Ms. Cope? Bagaimana mungkin dia tidak menyadari bahwa dia adalah perempuan paling cantik...paling indah... bahkan kata-kata itu tidak cukup untuk melukisan dirinya. Dan dia tidak menyadari hal itu.

“Kau sendiri tidak melihat dirimu dengan jelas,” kataku padanya. “Kuakui kau benar tentang hal-hal buruk itu...” Aku tertawa kecut. Aku tidak menganggap takdir gelap yang memburunya menggelikan. Namun begitu, kecanggungannya cukup lucu juga.
Menggemaskan. Apa mungkin dia mau percaya jika kukatakan dia itu cantik luar-dalam? Mungkin dia lebih percaya dengan bukti. “Tapi kau tidak mendengar apa yang dipikirkan setiap laki-laki di sekolah ini tentangmu pada hari pertamamu di sini.”

Ah, aku ingat harapan dan getaran hati, yang jadi pikiran mereka waktu itu. Yang kemudian berubah menjadi fantasi-fantasi yang mustahil. Mustahil karena Bella tidak
menginginkan satupun dari mereka. Padaku lah Bella mengatakan ya.Senyumku pasti sombong.

Sementara wajahnya kosong karena terkejut. “Aku tak percaya...” gumamnya.

“Percayalah sekali ini saja—kau bukan manusia biasa.”

Keberadaannya sendiri saja cukup jadi alasan untuk menghargai seisi dunia lainnya.
Dia tidak terbiasa dengan pujian, bisa kulihat itu. Satu lagi yang mesti dia biasakan. Dia merona, dan buru-buru mengubah topik pembicaraan. “Tapi aku tidak mengucapkan selamat tinggal.”

“Tidakkah kau mengerti? Itu yang membuktikan bahwa aku benar. Akulah yang paling peduli, karena seandainya aku bisa melakukannya...” Apakah aku akan bisa jadi cukup tidak egois untuk melakukan apa yang seharusnya? Aku menggeleng putus asa. Aku harus bisa mendapatkan kekuatan itu. Dia pantas memperoleh kehidupan, bukan seperti yang Alice lihat di masa depan. “Seandainya meninggalkanmu adalah sesuatu yang harus kulakukan...” dan memang itu yang seharusnya, ya kan? Tidak ada itu malaikat yang sembrono. Bella bukan untukku. “Akan kusakiti diriku sendiri demi menjagamu agar tidak terluka, supaya kau tetap aman.”

Karena sudah mengatakannya, aku bersikeras bahwa itulah yang seharusnya terjadi. Dia mendelik padaku. Entah bagaimana, ucapanku telah membuatnya marah. “Dan pikirmu aku takkan melakukan hal yang sama?”
Dia sangat marah—begitu lembut dan rapuh. Bagaimana mungkin dia bisa menyakiti
orang lain? “Kau takkan pernah perlu membuat keputusan itu,” sanggahku dengan suara tertekan, menyadari besarnya perbedaan diantara kami.

Dia menatapku. Kini sorot prihatin menggantikan amarah di matanya, memunculkan
kerut diantara dua mata itu. Pasti ada yang salah dengan dunia ini jika seseorang, yang begitu baik dan rapuh seperti dia, tidak memiliki malaikat pelindung untuk menjaganya tetap aman.

Well, batinku dengan humor gelap, paling tidak dia memiliki vampir pelindung.

Aku tersenyum. Aku senang dengan alasan itu. “Tentu saja menjagamu tetap aman mulai terasa seperti pekerjaan purnawaktu yang senantiasa memerlukan kehadiranku.”

Dia tersenyum juga. “Tak seorangpun mencoba membunuhku hari ini,” ucapnya santai.

Kemudian selama setengah detik wajahnya berubah spekulatif sebelum kemudian tatapannya jadi misterius lagi.

“Belum,” tambahku datar.

“Belum.” Secara mengejutkan dia sependapat. Kukira dia akan menyangkal setiap
usaha untuk melindunginya.

Tega-teganya dia. DASAR EGOIS! Tega-teganya dia melakukan hal itu pada kita! Teriakan murka pikiran Rosalie memecah konsentrasiku.

“Tenanglah, Rose,” kudengar bisikan Emmet dari seberang kafetaria. Tangannya
merangkul erat pundak Rosalie—menahannya.

Sori, Edward, sesal Alice dalam hati. Dia bisa menebak Bella tahu terlalu banyak dari isi pembicaraanmu...dan, well, akan lebih parah lagi andai aku tidak langsung memberitahu yang sebenarnya. Percayalah.

Aku mengernyit pada gambaran yang mengikutinya, akan apa yang bakal terjadi seandainya Rosalie baru tahu ketika di rumah, dimana dia tidak perlu menahan diri untuk melindungi identitasnya. Aku mesti menyembunyikan Aston Martinku jika dia masih belum juga tenang saat sekolah usai. Gambaran mobil favoritku hancur berkeping-keping membuatku kesal—meski tahu aku pantas menerimanya.

Jasper juga tidak terlalu senang dengan keputusanku. Biar kutangani mereka nanti. Siang ini waktuku bersama Bella tidak terlalu banyak, dan aku tidak mau menyia-nyiakannya. Dan aku jadi teringat dengan peringatan Alice tadi.

Kugeser jauh-jauh histeria pikiran Rosalie yang masih belum berhenti. “Aku punya
pertanyaan lain untukmu.”

“Tanyakan saja,” ujarnya sambil tersenyum.
“Apakah kau benar-benar harus ke Seattle sabtu ini, atau kah itu hanya alasan untuk menolak semua penggemarmu?”

Dia cemberut. “Kau tahu, aku belum memaafkanmu untuk masalah Tyler. Itu semua
salahmu, sehingga dia mengira aku akan pergi ke prom bersamanya.”

“Oh, dia akan mengajakmu sendiri tanpa bantuanku—aku cuma ingin melihat reaksimu.”

Aku tergelak mengingat ekspresi syoknya. Tidak satupun cerita horor tentang diriku bisa membuatnya sesyok itu. Kebenaran tidak membuatnya takut. Dia ingin bersama denganku. Jalan pikirannya benar-benar ruwet.

“Kalau aku mengajakmu, apakah kau akan menolak?”

“Mungkin tidak. Tapi aku kemudian akan membatalkannya—berpura-pura sakit atau mengalami cedera pergelangan kaki.”

Benar-benar aneh. “Kenapa kau melakukan itu?”

Dia menggeleng, seakan kecewa aku tidak langsung mengerti. “Kau tak pernah melihatku di kelas olahraga, tapi kupikir kau bakal mengerti.”

Ah. “Apakah kau sedang bicara tentang fakta bahwa kau tak bisa berjalan di permukaan rata tanpa tersandung?”

“Tentu saja.”

“Itu bukan masalah. Tergantung siapa yang memimpin dansanya.”

Selama sepersekian detik, perasaanku meluap gembira pada bayangan merangkulnya pada saat berdansa—dan pasti dia memakai sesuatu yang cantik dan indah ketimbang sweeter jelek ini. Dengan sangat jelas aku ingat bagaimana tubuhnya terasa dibawah pelukanku setelah menyelematkan dia dari terjangan van. Aku lebih bisa mengingat sensasinya ketimbang kepanikanku waktu itu. Dia terasa begitu hangat dan lembut, sangat pas dalam rengkuhan tubuhku... Aku kembali dari ingatan itu.

“Tapi kau belum bilang—” kataku buru-buru, mencegah dia mendebat soal kecanggungannya, seperti yang jelas-jelas ingin dia lakukan. “Apakah kau sudah mantap ingin ke Seattle, atau kau tidak keberatan kita melakukan sesuatu yang berbeda?”

Sedikit rumit—memberinya kesempatan untuk memilih, tapi tanpa memberinya pilihan untuk tidak bersamaku. Kurasa itu tetap adil. Lagipula tadi malam aku sudah janji padanya...dan aku senang pada ide untuk memenuhinya—hampir sebesar kecemasanku pada ide itu sendiri.

Sabtu nanti matahari akan bersinar. Aku bisa memperlihatkan diriku yang sebenarnya, jika aku cukup berani untuk menghadapi kengerian dan kejijikan dia. Aku tahu tempat yang tepat untuk mengambil resiko itu...

“Aku terbuka untuk tawaran lain. Tapi aku punya satu permintaan.”

Setuju, tapi dengan syarat. Apa yang dia inginkan?
“Apa?”

“Boleh aku yang mengemudi?”

Apa ini idenya untuk melucu? “Kenapa?”

“Well, terutama karena waktu kubilang kepada Charlie akan pergi ke Seattle, dia secara spesifik bertanya apakah aku pergi sendirian, dan waktu itu, memang ya. Kalau dia bertanya lagi, barangkali aku tidak akan berbohong, tapi rasanya dia tidak akan bertanya lagi, dan meninggalkan truk di rumah akan membuatnya bertanya-tanya. Juga karena cara menyetirmu membuatku takut.”

Aku memutar bola mataku. “Dari semua hal dalam diriku yang bisa membuatmu takut, kau malah takut dengan caraku mengemudi.” Aku menggeleng tak percaya. Jujur saja, jalan pikirannya betul-betul terbalik.

Edward, panggil Alice mendesak.

Mendadak, aku menatap ke sinar cerah matahari; salah satu dari penglihatan Alice.
Itu tempat yang sangat kukenal, tempat dimana aku akan mengajak Bella—sebuah padang rumput kecil, yang belum pernah dikunjungi siapapun selain diriku. Tempat sunyi yang indah, tempat aku biasa menyendiri—cukup jauh dari jalan setapak atau pemukiman penduduk hingga bahkan pikiranku bisa tenang, tidak mendengar apa-apa. Alice mengenalinya juga, karena dia telah melihatku disana, pada salah satu penglihatannya yang tidak terlalu lama—salah satu dari penglihatan kabur dan bekedip-kedip yang Alice tunjukan padaku di pagi ketika Bella kuselamatkan dari terjangan van. Dalam penglihatan yang berkedip-kedip itu, aku tidak sendirian. Dan sekarang semuanya jelas—Bella bersamaku disana. Berarti aku berani mengambil resiko itu. Bella memandangiku, pelangi menari di depan wajahnya, matanya tidak bisa dijajaki.

Itu tempat yang sama, batin Alice. Pikirannya diliputi kengerian yang tidak cocok dengan penglihatan itu. Tegang, itu mungkin, tapi kenapa ngeri? Apa maksudnya dengan tempat yang sama?

Kemudian aku melihatnya.

Edward! teriak Alice nyaring. Aku mencintainya, Edward!

Aku langsung mengusirnya. Dia tidak mencintai Bella seperti aku mencintainya. Penglihatannya mustahil. Keliru. Dia pasti salah, melihat sesuatu yang tidak mungkin. Tidak sampai setengah detik telah berlalu. Bella menatap wajahku penasaran, menunggu persetujuanku atas permintaannya. Apa dia sempat melihat kekalutanku, atau itu terlalu cepat untuk dia?

Aku fokus pada dirinya, pada pembicaraan yang belum selesai ini. Kuusir jauh-jauh
Alice, juga penglihatannya yang keliru, dari pikiranku. Hal itu tidak layak mendapat perhatianku. Meski begitu, aku terlanjur tidak bisa mengimbangi suasana hati Bella.

Aku bertanya dengan nada serius dan agak muram, “tidakkah kau ingin memberitahu ayahmu, kau akan melewatkan hari itu bersamaku?”

Kuusir lebih jauh lebih penglihatan itu, menjaganya agar tidak terlintas di pikiranku.

“Dengan Charlie, berbohong selalu lebih baik,” ucapnya yakin akan hal itu. “Lagi pula, memangnya kita mau kemana?”

Alice pasti salah. Sangat salah. Sama sekali tidak mungkin itu bisa terjadi. Dan itu penglihatan yang sudah sangat lama, sudah tidak relevan lagi. Banyak hal telah berubah.

“Prakiraan cuacanya bagus,” kataku pelan sambil berusaha mengatasi kepanikan dan kebimbanganku. Alice pasti salah. Aku akan melanjutkan seakan aku tidak mendengar atau melihat apa-apa. “Jadi aku akan menghilang untuk sementara... dan kau bisa ikut bersamaku kalau mau.”

Bella langsung mengerti yang kumaksud; matanya jadi cerah dan bersemangat. “Dan kau akan memperlihatkan padaku yang kau maksud mengenai matahari?”

Mungkin, seperti yang sudah-sudah, reaksi dia besok akan berbeda dari yang kukira. Aku tersenyum pada kemungkinan itu. Dan aku berjuang untuk bisa kembali menikmati momen santai ini. “Ya. Tapi...” Dia belum bilang ya. “Kalau kau tidak ingin... berduaan denganku, aku tetap tidak ingin kau pergi ke Seattle sendirian. Aku khawatir memikirkan masalah yang mungkin menimpamu di kota sebesar itu.”

Bibirnya mengatup rapat; dia tersinggung. “Phoenix tiga kali lebih besar daripada Seattle—itu baru jumlah populasinya. Untuk ukuran—”

“Tapi nyatanya, insiden yang kau alami tidak bermula di Phoenix,” sanggahku, menyela pembenarannya. “Jadi, lebih baik kau berada di dekatku.”

Dia bisa bersamaku selamanya dan itu tetap masih belum cukup. Aku tidak boleh berpikiran seperti itu. Kami tidak punya waktu selamanya. Tiap detik berjalan lebih cepat dari sebelumnya; tiap detik mengubah dirinya sementara aku tidak akan pernah berubah.

“Karena itu sudah terjadi, aku tak keberatan berduaan saja denganmu,” ujarnya sependapat.

Bukan, itu lebih karena instingnya yang terbalik.

“Aku tahu.” Aku menghela napas. “Meski begitu, kau harus memberitahu Charlie.”

“Kenapa aku harus repot-repot melakukannya?” tanyanya ngeri.

Aku mendelik ke dia, penglihatan yang tidak lagi mampu kutahan akhirnya berkeliaran di kepalaku.

“Sebagai satu alasan kecil bagiku untuk memulangkanmu,” desisku. Dia mesti memberiku kesempatan—satu orang saksi untuk membuatku tetap waspada. Kenapa Alice mesti menunjukan penglihatan itu sekarang? Bella menelan ludah, kemudian menatapku lama. Apa yang dia lihat?

“Kurasa aku akan mengambil resiko itu.”

Ugh! Apa dia tipe orang yang jadi bersemangat ketika nyawanya sedang terancam? Apa dia mencari sesuatu yang bisa memacu adrenalinnya? Aku mendelik marah ke Alice, yang sedang melirikku dengan tatapan memperingatkan.

Di sampingnya, Rosalie menatapku murka. Tapi aku tidak terlalu peduli. Biar saja dia menghancurkan mobilku. Itu cuma mainan.

“Kita bicara yang lain saja,” saran Bella tiba-tiba.

Aku kembali melihat ke arahnya, bertanya-tanya kenapa dia begitu tidak peduli dengan apa yang sudah jelas-jelas di depan mata. Kenapa dia tidak menganggapku sebagai monster, seperti yang semestinya?

“Apa yang ingin kau bicarakan?”

Matanya bergerak ke kiri dan ke kanan, seakan sedang memastikan tidak ada yang menguping. Dia pasti berencana untuk mengungkit topik yang berhubungan dengan mitos-mitos itu lagi. Matanya berhenti sejenak, badannya membeku, lalu dia kembali melihat ke arahku.

“Kenapa kau pergi ke Goat Rocks akhir pekan lalu... untuk berburu? Charlie bilang, itu bukan tempat yang baik untuk hiking, banyak beruang.”

Benar-benar tidak peduli. Aku menatapnya, mengangkat satu alis.

“Beruang?” Dia menahan napas.

Aku tersenyum kecut saat mengamati hal itu meresap dalam pikirannya. Apa ini akan membuat dia menanggapiku dengan serius?

Dia mengendalikan ekspresinya. “Kau tahu, sekarang bukan musim berburu beruang,” ucapnya sungguh-sungguh dengan mata menyipit.

“Kalau kau membaca dengan teliti, peraturannya hanya mencakup berburu dengan
senjata.” Sejenak dia tidak bisa mengendalikan ekspresinya lagi. Mulutnya ternganga.

“Beruang?” Kali ini dengan nada sangsi, bukan lagi syok.

“Beruang Grizzly adalah kesukaan Emmet.”

Aku mengamati matanya, melihat dia mengolah ucapanku.

“Hmm,” gumamnya. Dia menunduk dan menggigit pizanya. Dia mengunyah sambil
berpikir, lalu meneguk minumannya.

“Jadi,” akhirnya dia mendongak. “Kesukaanmu apa?”

Mestinya aku bisa menduga pertanyaan dia, tapi aku tidak. Bella selalu saja menarik, sekecil apapun itu.

“Singa gunung,” jawabku cepat.

“Ah.” Nadanya santai, detak jantungnya tetap tenang, seakan kita sedang membicarakan tempat makan yang paling enak.

Baiklah kalau begitu. Jika dia memang menganggapnya ini bukan sesuatu yang tidak umum...

“Tentu saja, kami harus berhati-hati agar tidak membahayakan lingkungan dengan kegiatan berburu kami.” Aku berusaha mengimbangi nada suaranya. “Kami berusaha fokus pada area yang jumlah populasi binatang predatornya tinggi menciptakan daerah jangkauan sejauh mungkin. Di sekitar sini banyak rusa dan kijang, dan itu sebenarnya cukup, tapi dimana kesenangannya?”

Dia mendengarkan dengan ekspresi tertarik yang sopan, seakan aku seorang guru yang sedang mengajar. Mau tidak mau aku tersenyum.

“Ya, benar,” gumamnya santai. Dia menggigit pizzanya lagi.

“Awal musim semi adalah musim berburu beruang kesukaan Emmet.” Aku meneruskan dengan kuliahku. “Mereka baru saja selesai hibernasi, jadi lebih pemarah.”

Tujuh puluh tahun kemudian, dia masih belum bisa melupakan kekalahan pertamanya dulu.

“Tak ada yang lebih menyenangkan daripada beruang Grizzly yang sedang marah.”

Bella mengangguk-angguk serius. Aku tertawa terbahak-bahak, menggeleng-geleng pada ketenangannya yang tidak logis. Itu pasti dibuat-buat. “Tolong katakan apa yang benar-benar kau pikirkan.”

“Aku mencoba membayangkannya—tapi tidak bisa.” Kerutan muncul diantara matanya. “Bagaimana kalian berburu beruang tanpa senjata?”

“Oh, kami punya senjata.” Kupamerkan gigiku dengan seringai lebar. Kukira dia akan terlonjak, tapi ternyata tetap tenang. “Pokoknya bukan jenis senjata yang terpikir oleh mereka ketika membuat peraturan berburu. Kalau kau pernah melihat beruang menyerang di acara televisi, kau seharusnya bisa membayangkan cara Emmet berburu.”

Dia melirik ke meja tempat keluargaku duduk, dan gemetar. Akhirnya. Kemudian aku tertawa sendiri karena aku tahu sebagian dari diriku berharap dia tetap tidak peduli.

Matanya yang gelap terlihat lebar dan dalam saat menatapku. “Apa kau juga seperti
beruang?” suaranya hampir seperti bisikan.

“Lebih seperti singa, atau begitulah kata mereka.” Aku berusaha bicara senormal mungkin. “Barangkali pilihan kami mencerminkan kepribadian kami.”

Sudut bibirnya sedikit tertarik ke atas. Kelihatannya dia berusaha tersenyum.

“Barangkali.” Kemudian dia menelengkan kepalanya, rasa penasaran terlihat jelas di matanya. “ Apakah aku akan pernah melihatnya?”

Aku tidak perlu gambaran dari Alice untuk mengilustrasikan kengerian ini—imajinasiku sendiri sudah cukup.

“Tentu saja tidak!” Aku menggeram padanya.

Dia menjauh ke belakang. Matanya tertegun sekaligus takut. Aku bersandar ke kursi, menjauh juga. Dia tidak akan pernah melihatnya. Dia tidak boleh melakukan itu agar aku bisa menjaganya tetap hidup.

“Terlalu menakutkan buatku?” suaranya tetap datar. Sedang jantungnya, biar bagaimanapun, berdetak dua kali lebih cepat.

“Kalau cuma karena itu, aku sudah akan mengajakmu nantai malam,” jawabku ketus.

“Kau perlu merasakan ketakutan yang sebenarnya. Tak ada cara yang lebih baik buatmu.”

“Lalu kenapa?” desaknya tidak peduli.

Aku mendelik sengit, menunggu dia untuk takut. Aku sendiri takut. Bisa kubayangkan bagaimana jadinya jika Bella ada di dekatku saat aku sedang berburu... Matanya masih tetap penasaran dan tidak sabar. Hanya itu. Tidak ada takut. Dia masih menunggu jawabanku. Tapi satu jamku dengan dia sudah habis.

“Nanti saja jawabnya,” kataku masih kesal, dan aku berdiri. “Kita bakal terlambat.”

Dia memandang ke sekelilingnya, bingung, seakan lupa sedang makan siang. Bahkan seperti lupa sedang berada di sekolah—terkejut bahwa aku dan dia tidak sedang sendirian di tempat yang terpencil. Aku sangat mengerti perasaan itu. Sulit mengingat sekelilingku jika sedang bersamanya.

Dia cepat-cepat bangkit, sedikit terhuyung-huyung, dan menyampirkan tasnya ke pundak.

“Kalau begitu sampai nanti,” jawabnya.

Aku bisa melihat dia belum menyerah; dia benar-benar akan menagih jawabanku.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah menjadi reader blog ini...
Jika ingin men-share link silakan...
Tidak perlu bertanya kapan episode selanjutnya, kalau memang sudah selesai pasti akan langsung diupdate...
DAN MOHON UNTUK TIDAK MENG-COPYPASTE SINOPSIS DARI BLOG INI...

Sapaan di Tahun 2018

Assalamu'alaikum kawan, apa kabarnya? Buat teman-teman muslim Selamat Menjalankan Ibadah Puasa.